Selasa, 22 April 2014
Bleg!
Tiba-tiba mataku terbelalak menghadap plafon kamar, teringat bahwa hari ini
aku harus pergi ke sebuah tempat yang jaraknya tidak dekat dan butuh waktu
perjalanan tidak sebentar pula. Kulihat posel hitam mungilku tepat di
sebelahku—di tengah permukaan kasurku yang kuwel-kuwelan.
“Ah, dua menit lagi alarmnya
bunyi!”
Kuingat-ingat kembali hal yang semalam aku lakukan sebelum menikmati
indahnya pulau kapuk—menyalakan alarm tepat pukul empat lebih sepuluh menit.
Aku sudah tersadar, tetapi tubuh ini masih enggan untuk itu. Begitu malas,
dingin.
Sempat muncul dalam niatku untuk tidak ikut acara tersebut, pasalnya malam
tadi temanku yang sudah ingin ikut ternyata memutuskan untuk tidak jadi dengan
sangat mendadak. Padahal, beberapa saat lalu kami telah menentukan dimana dan
pukul berapa kami akan bertemu, namun semua nihil. Aku kecewa, sangat kecewa!
Aku kesal, gemas! Teman-temanku selalu memintaku untuk memberi info tentang
sebuah event, tetapi apa? Yang ada
justru hanya rencana belaka.......
Kembali kepada sebuah tatapan kosongku terhadap plafon,
Cukup lama aku menatap atas kamar, berfikir—apa aku tetap ‘memboyong’
diriku sendiri ataukah kembali tidur? Belum lagi aku harus segera menghubungi contact personnya sesegera mungkin,
mengingat batas konfirmasi kedatangan harus segera disampaikan pukul enam. Ah,
lalu aku harus bagaimana? Aku belum pernah melakukan perjalanan jauh sendiri?
Aku terbiasa mengajak beberapa teman-teman sekolah, tetapi kali ini—sudah ku
ajak tapi hasilnya nihil. Semangat yang sudah tumbuh sejak semalam perlahan
runtuh, berubah menjadi rasa kantuk yang kembali membuai mataku.
Tak lama, aku mendengar suara-suara orang yang sedang ber-tadarrus yang keluar dari speaker masjid dekat rumah. Itu
tandanya, subuh akan menjelang. Anehnya, semakin suara itu terdengar jelas,
semakin naik gairahku untuk bangkit dari wahana kapuk ini. Semakin menarikku
untuk melakukan aktivitas. Semakin naik juga keinginanku untuk tetap pergi ke
acara itu—Tapi? Apa ini keputusan yang tepat?
….
“Kayaknya perasaan gue ga
enak kalau besok pergi”
Balas pesan singkat salah seorang temanku yang awalnya ingin ikut namun
akhirnya tidak jadi. Seakan ia juga ingin mengahasutku untuk tidak datang. Aku
pun juga jadi kepikiran dengan kata-katanya itu. Terbayang-bayang, takutnya
‘ada benarnya juga kata-katanya’.
Aku segera angkat badan, duduk di tepi kasur lalu menggaruk kepala. Masih
ku fikirkan satu kali lagi, lagi, lagi dan lagi. “Kalau misalnya itu beneran kejadian gimana? Aku kan ke sana
sendirian.......”
Ku tarik nafas panjang dan berulang, dan entah mengapa tiba-tiba kakiku
begitu semangat untuk menggiringku ke kamar mandi. Ku turuni satu demi satu anak
tangga, menuju ke ‘ruang pembersihan’ di lantai bawah. Masih dalam keadaan yang
belum sadar betul, lebih tepatnya dalam keadaan mata tertutup.
Hingga akhirnya aku berhasil menuruni anak tangga tanpa melihat dan
tiba-tiba kamar mandi sudah ada di depan mukaku. Ku lanjutkan langkahku masuk
lalu menutup pintunya.
....
/ini sesi bahaya, sampai disitu aja/ /dijitak
Selama kurang lebih tiga puluh menit di dalam—merenung, alhasil muncul
keputusan, “Kali ini aku ingin jalan
sendiri!”
Setelah itu, kegiatan ‘bersih-bersih’ telah usai tepat azan subuh
berkumandang. Tubuh pun menjadi segar—tepatnya dingin. Ku segera berkemas,
menyiapkan apa saja yang akan aku bawa. Baju panjang dan hijab berwarna hijau
serta rok hitam adalah kostumku hari ini. Laptop,
flashdisk,air minum, uang secukupnya serta bekal—lima potong bolu yang
khusus disiapkan ibu.
Memang, jika aku pergi ke sebuah event,
malas sekali rasanya untuk sekadar jajan di sana. Sudah jelas, pasti harganya
dua kali lebih mahal dibanding harga aslinya. Seandainya membawa uang lebih,
aku gunakan untuk membeli benda yang aku suka dan pasti bermanfaat. Berdasarkan
alasan itulah, aku lebih suka menyiapkan bekal makanan dan minuman dari rumah
ketimbang mengandalkan jajan.
..
“Kamu yakin berangkat sendirian?”, tanya ibu meragukan. “Katanya
teman-temanmu ga ikut? Tapi kok kamu malah tetap nekat jalan?”
“Ya, gimana ma? Aku benar-benar ingin datang!”, jawabku meyakinkan. “Biarin aja kalau pada ga mau ikut, aku juga ga maksain, kok!”
Ibu terdiam lesu, sepertinya ia punya asumsi yang tidak jauh berbeda dengan
temanku itu—dari SMS yang ia balas untukku malam tadi. Tetapi aku tetap kekeuh pada keputusanku.
Langsung saja, segera aku menuju ke dapur, sarapan nasi dan sepotong
martabak telur. Setelah itu, aku segera bergegas ke teras—membawa tas yang
cukup berat ini lalu mengenakan kaus kaki. Beruntung, ayah membantuku untuk
memanasi motor lalu mengeluarkannya dari teras rumahku yang sempit. Alhamdulillah!
“Ibu, ayah, aku berangkat ya? Assalamu’alaikum!”, ujarku sambil menciumi
punggung telapak tangan kedua orangtuaku. “Doakan aku agar sampai ke tempat
tujuan dan pulang dengan selamat ya, bu? Yah?”
Mereka tersenyum lalu mengangguk.
....
Aku segera mengenakan slayer
disusul sepasang sarung tangan serta helm. Ku tekan tombol start berwarna kuning yang berada di sisi bawah pedal gas. Ku
diamkan sebentar motorku lalu perlahan aku menarik pedal gas tersebut untuk
memutar kedua rodanya.
Singkat cerita, akhirnya aku tiba di stasiun Bekasi tepat pukul 05.30. Aku
segera menuju
loket untuk membeli e-ticket.
Antrian yang sangat panjang membuatku gemas. Ah tapi, ini sudah hal yang mainstream, mungkin, namanya juga jam
sibuk.
Setelah e-ticket terbeli,
langsung saja aku menuju sebuah kereta commuter
line yang sudah siap memboyong kami ke tempat tujuan masing-masing. Suasana
tidak jauh berbeda seperti di loket, begitu padat dan menyiksa. Aku stuck di posisi yang sama di sepanjang
jalan sampai akhirnya aku transit di stasiun Manggarai. Untung saja, kereta
dengan jenis yang sama untuk tujuan Depok sangat lengang, lega dan bebas.
Bahkan aku bisa duduk manis sambil membaca buku dengan tenang sampai stasiun
tujuan, Universitas Indonesia.
....
Masih jam 07.04, masih lama banget.
Sempat terfikir untuk sekadar jalan-jalan mengelilingi kampus terluas di Jakarta
ini. Hawanya yang sejuk benar-benar menggoda iman, tapi takutnya ga keburu. Karena ragu, akhirnya aku
hanya duduk di halte bus kuning sambil memainkan ponsel, di tengah segabreg mahasiswa UI ini. Berasa kayak
mereka nih hehehehe..
Kurang lebih satu jam disini, rasanya benar-benar bosan. Daripada semakin
suntuk, langsung saja aku menuju Pusat
Studi Jepang UI melewati sebuah akses jalan terbuka hijau yang dikhususkan
untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda tepat di depan stasiun. Ah, memang
jalan sendiri lebih seru! Bisa menikmati seluk-beluk kampus elite ini dengan bebas!
Akhirnya, sampai juga di Gedung PSJ UI. Untuk apa?
Ya, aku menghadiri 12th Journalist Days untuk mengikuti training penulisan. Dimulai tepat pukul
09.00, acara dibuka dengan sambutan-sambutan dari penyelenggara acara, lalu
masuk ke acara inti. Yosh! Presentasi
dimulai dari Bapak Wisnu Nugroho, mahasiswa UI yang sedang menempuh
pascasarjana sekaligus penulis buku dan jurnalis dari Kompas. Mantap!
Tiga jam
terasa begitu singkat! Seru pake banget!
Buatku, ia bisa membuatku sangat excited,
cara penyampaiannya yang ringan serta menghibur layaknya sedang stand up comedy. Ia termasuk jurnalis
muda dan kelewat gokil.
Saat
kami sedang asyik melakukan tanya jawab, panitia justru menghentikannya karena
sudah masuk jam istirahat. Sebenarnya ada hal yang mau saya tanya, eh ga keburu. Yaudah, rapopo.
Kegiatan
pertama yang aku lakukan adalah shalat lalu
kembali ke ruangan. Iseng-iseng ga tau
ngapain, aku memotret suasana ruangan saat sedang sepi.
Oh
iya, sebenarnya aku sudah berkali-kali mendatangi gedung ini—menghadiri
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan dan sastra Jepang. Karena
memang kan ini gedung pusat studi
Jepang. Benar, kan?
Meskipun
statusku masih pelajar dari sebuah SMK Negeri di Bekasi, tetapi aku sering
mengajak teman-temanku kesini, ya untuk menghadiri kegiatan-kegiatan Matsuri (festival Jepang) dan pernah
juga mengikuti EJU (The Examination for
Japanese University Admission for International Students) atau istilah
dalam bahasa Indonesia-nya itu ‘Ujian
Pendidikan Jepang yang Diperuntukkan Untuk Pelajar Asing’ atau kurang
lebhnya seperti itu artinya.
Karena
penggemar Jepang di Indonesia—khususnya di wilayah Jabodetabek begitu banyak,
maka otomatis setiap kami kesini selalu ramai dikunjungi.
Tetapi
berbeda dengan keadaan PSJ UI saat ini.
Lihat?
Hanya segelintir orang saja disini, sepi, hening. Ya, memang acara ini diadakan
di jam kerja dan sekolah serta jumlah bangku yang tersedia untuk peserta sangat
terbatas. Mungkin saja acara ini sengaja digelar pada waktu weekdays untuk mencegah terjadinya
lonjakan peserta? Bisa jadi. Sangat mungkin terjadi.
Tetapi,
justru karena pesertanya tidak terlalu banyak, aku malah lebih konsentrasi
untuk menyimak dan sangat kondusif.
Ini suasana ruangan training saat istirahat hehehehe
Hm,
ngomong-ngomong sekarang aku sedang
membahas jam istirahat, ga afdal dong kalau tidak membicarakan lunch nya?
Jeng jeng jeeeeng! Ini dia, pembabat habis rasa laparku.
Sebuah kotak putih berisi nasi uduk dan ayam goreng plus sambal terasinya! Panitia tahu aja kesukaan saya, haha!
Ibadah?
Sudah. Foto-foto? Sudah. Makan? Sudah juga. Nah, sekarang lanjut ke sesi training ke dua. Trainer kali ini adalah Bapak Sandy Indra Pratama, jurnalis dari
majalah Tempo. Sama seperti Pak Wisnu, dia juga menyenangkan! Pengalamannya
seputar penulisan berita untuk majalah Tempo yang terkenal dengan isinya yang
cukup kritis membuatku sangat antusias untuk menyimaknya.
**Sebenarnya
dari awal aku ingin sekali berfoto dengan kedua Trainer itu, sayangnya, aku sendiri, malu, dan tidak dapat cemceman satupun dari acara itu!! /telen
tissue/
Oke,
baiklah, di skip saja, akhirnya tepat
pukul 4 sore acara selesai. Tetapi tidak secepat itu pula aku bisa langsung
pulang. Hujan badai yang mengguyur UI membuatku tertahan satu jam di mushallah. Jam 5, hujan itu mulai reda.
Ah, aku pulang telat, diluar rencanaku yang ingin sampai rumah saat jam maghrib
tiba.
Aku
segera keluar dan bergegas ke stasiun, melewati akses jalan yang sama seperti
tadi pagi.
Sampai
di stasiun, tiba-tiba kereta tujuan Manggarain datang. Dari loket aku segera
berlari menuju peron, bersama calon penumpang lainnya.
Keadaan
dalam gerbong kereta cukup padat, tetapi masih cukup leluasa untuk sekadar
mengecek ponsel atau stretching kecil.
Sesampainya
di stasiun Manggarai untuk transit, ‘perasaan ga enak’ mulai muncul. Penumpang yang akan menuju Bekasi sangat bejubel di peron empat ini. Lagi-lagi,
faktor jam sibuk inilah yang menjadi penyebab utamanya.
Satu
jam aku dan ratusan calon penumpang menunggu, namun kereta tak kunjung datang.
Hingga akhirnya pukul 18.02 kereta tiba dan...
...
Sangat
amat benar-benar tidak dapat dimasuki oleh satu dari kami. Sangat penuh.
Kami
yang sudah sangat sabar menunggu kedatangannya harus menelan rasa gondok yang tidak terbendung. Apalagi
aku kini berdiri di peron untuk gerbong khusus wanita, tahu sendiri kan gimana
reaksinya kalau para wanita kecewa? Hahahahaha!
Hingga
akhirnya,dari arah speaker terdengar jelas petugas berbicara.
“Bagi penumpang
Commuter Line tujuan Bekasi yang tidak dapat memasuki gerbong, jangan
dipaksakan! Sebentar lagi satu rangkaian kereta Bekasi akan segera memasuki jalur
satu”
Sontak
saja, kami semua yang sudah kesal buru-buru lari ke jalur satu. Seluruh calon
penumpang riuh, berebut agar bisa mendapat duduk. Apalagi, peron di jalur satu
adalah peron terpendek (dalam artian tingginya) hingga akhirnya kami pun
kembali berebut untuk menaiki tangga bantuan.
Yosh! Sebuah kereta Commuter Line yang kosong akhirnya
tiba (sepertinya ini termasuk kereta cadangan, karena kereta ini datangnya dari
arah Jatinegara, seharusnya kan dari
arah Jakarta Kota? Apalagi kosong? Mungkin pihak KAI menjalankan rangkaian
kereta ini untuk mengantisipasi lonjakan penumpang saat jam sibuk. Ah, tapi sih ini hanya pendapatku saja karena aku
baru pertama kali menaiki kereta di jam super
sibuk seperti ini hehe).
Kami
berdiri, menyambut kedatangannya dengan amat bahagia—melihat isi gerbong yang
amat ‘suci’. Tetapi, teriakan “YAAHHH” kami kembali terlontar saat kereta
nyaris saja melewati kami, alias kami
hampir tidak kebagian pintu. Kita-kita sih
bilangnya, “Keretanya kebablasan!”
Ah,
alhamdulillah, pintu paling ujung masih memberi kami kesempatan untuk naik,
walaupun nyaris, nyariiis, nyariiiiiiiiiiiiiiiisssss tidak pas. Tak lama pintu
otomatis terbuka, waahh, segerombolan ‘ibu-ibu’ pun langsung melancarkan
aksinya—bahu-membahu untuk dorong-mendorong. Maklum, takut ga bisa masuk lagi. Soalnya, kami harus menunggu berapa lama lagi
untuk menunggu kedatangan kereta selanjutnya?
Semua
penumpang sudah naik ke gerbong, tapi...
BEEEEUUHHHHH!!!!
AKU
TIDAK DAPAT BERNAFAS APALAGI BERGERAAAAAK!!!!!!
KEDUA
TANGANKU YANG SEDANG MEMEGANG TAS BERISI LAPTOP DITAMBAH SOUVENIR SEGAMBRENG
PUN JATUH TAK TERLIHAT.
KAKIKU
YANG TERTIBAN SEBUAH TAS YANG SANGAT BERAT MILIK IBU-IBU DI BELAKANGKU.
TUBUHKU
YANG CONDONG KE DEPAN, LALU KE KIRI DAN KE KANAN AKIBAT DORONGAN-DORONGAN PASIF
NAMUN AGRESIF
...
Oke,
Kini
aku berada di keadaan yang sangat stuck—pasrah.
Siksaan untukku belum sampai disitu, kereta ini ternyata ditahan selama kurang
lebih lima belas menit. Bisa dibayangkan saat situasi seperti ini aku harus
berdiri dengan keadaan seperti itu tanpa sedikitpun ruang untuk bergerak? Mendingan
jangan dibayangkan, ga penting juga sih sebenarnya.
Tolonglah.
Aku sudah teramat lelah, wahai pak masinis.
..
Hingga
akhirnya, pintu otomatis mulai ditutup. Buka, ketutup, kebuka lagi, ketutup lagi.
Pintu tersebut tidak kunjung berhenti untuk membuka tutup seperti itu. Bahkan
baru saja jalan, kereta mendadak berhenti lagi dan pintu otomatis kembali
seperti itu. Para penumpang yang berada
persis di depan pintu otomatis pun gondoknya bukan main. Mereka harus melakukan
bagaimana caranya supaya baik barang maupun anggota badan mereka tidak
terjepit. Pasalnya, kereta ini sebenarnya sudah over capacity tetapi tetap dipaksa masuk. Habis, mau gimana lagi?
Huh,
tak lama pintu kereta pun sudah tertutup rapat, penumpang pun lega—tetapi tidak
dengan posisi kami. Sesampainya di Jatinegara, kembali tampak segabrek penumpang dari jendela yang
agak gelap sedang menunggu kereta berhenti. Kami pun sudah wanti-wanti, “Jangan naik! Jangan naik! Tolong!”
Benar
saja, saat kereta berhenti lalu membuka pintu otomatis, ibu-ibu yang berdiri di
pintu berkata demikian kepada para calon penumpang yang ingin naik. Dan
sepertinya, dari sekian orang di stasiun itu, tidak ada satupun yang naik ke
gerbong kami—khusus wanita.
Kereta
ini pun sudah tidak mampu membendung para calon penumpangnya yang berceceran di
setiap stasiun. Tetapi kereta tetap melanjutkan perjalanan ke setiap stasiun,
tidak untuk menaiki penumpang, tetapi justru khusus hanya untuk menurunkan
penumpang.
Aku
mengambil foto ini saat para penumpang sudah mulai berkurang, tepatnya setelah
Stasiun Klender Baru. Ini jauh lebih longgar dibandingkan saat masih di
Manggarai. Bersyukur, di stasiun-stasiun selanjutnya jumlah penumpang terus
berkurang dan berkurang. Semakin lega ruang gerakku kini dan sekarang sudah
bisa bernafas lebih lega!
Singkat
cerita lagi, sampai di stasiun Bekasi, aku kembali mengantre untuk menukar e-ticket dengan uang sebesar Rp
5.000,00. Tadinya, aku tidak ingin menukarnya karena hari Kamis aku akan
kembali ke UI untuk hari ke-2 dengan acara yang sama. Tetapi aku sedang malas
membongkar dompet, lumayan untuk bayar parkir, uangnya pas! Hahaha!
Sekembalinya
ku ke motor, uwaaah! Motorku basah kuyup hehehe...
Aku segera mengambil kembali kunci motor dan slayer serta mengenakan sepasang sarung tangan dan helm. Ku panasi
sebentar mesin motornya, takut mogok, karena motorku sering seperti itu jika
hujan lebat mengguyur motorku.
Oke,
langsung menuju loket pembayaran, lalu yosh!
Kembali berjuang menerobos padatnya motor dan mobil di sepanjang jalan ini~
/nada bicara ala Squidward/
Alhamdulillah, tepat sekali pukul 19.30 aku
tiba di rumah dengan selamat! Aku segera mengunci ganda motorku dan memasuki
rumah dengan tenang. Setelah itu? Makan cemilan yang aku dapat dari event itu, lanjut makan nasi, shalat dan tidur!
Alhamdulillah,
aku bisa menarik kesimpulan dan hikmah dari kegiatan hari ini,
1) Bahwa sesungguhnya kita harus belajar hidup mandiri, kita tidak bisa selamanya bergantung pada orang lain. Ada kalanya kita harus bisa melakukannya sendiri, meskipun rasa takut selalu datang di awal mencoba. Tapi yakinlah, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
2) Aku dapat ilmu yang cukup bermanfaat, terutama dalam tata cara menulis yang baik. Mudah-mudahan Allah selalu memudahkanku menuju cita-citaku. Aaamiin.
1) Bahwa sesungguhnya kita harus belajar hidup mandiri, kita tidak bisa selamanya bergantung pada orang lain. Ada kalanya kita harus bisa melakukannya sendiri, meskipun rasa takut selalu datang di awal mencoba. Tapi yakinlah, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
2) Aku dapat ilmu yang cukup bermanfaat, terutama dalam tata cara menulis yang baik. Mudah-mudahan Allah selalu memudahkanku menuju cita-citaku. Aaamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar