sumber: yorga.wordpress.com
Begitu banyak agama dan kepercayaan di tengah masyarakat dunia menyebabkan terjadi pengelompokkan-pengelompokkan tertentu sehingga tidak jarang terjadi konflik antar masyarakat. Berikut akan dibahas mengenai hubungan antara agama dengan kehidupan sosial masyarakat.
FUNGSI AGAMA
Agama
adalah fenomena hidup manusia. Dorongan untuk bergama, penghayatan terhadap
wujud agama serta bentuk pelaksanaanya dalam masyarakat bias berbeda-beda,
namun pada hakekatnya sama, yaitu, bahwa semua agama merupakan jawaban terhadap
kerinduan manusia yang paling dalam yang mengatasi semua manusia.
Pada
hakekatnya seluruh manusia ini secara fithriah mempunyai potensi untuk percaya
kepada Yang Maha Esa dank arena agama yang mengajarkan tentang konsepsi
ketuhanan merupakan bagain yang tak terpisahkan dan kehidupan umat manusia.
Agama
merupakan factor yang sangat penting dan sangat menentukan bagi kehidupan
jutaan manusia. Agama seringkali menjadi motif dalam keputusan-keputusan
politik, social ekonomi, serta pernyataan-pernyataan kebudayaan. Agama dapat
mempersatukan dari berbagai suku dan bangsa di dunia ini. Agama dapat menjadi
tali pengikat persaudaraan yang kekal, yang melampaui batas-batas wilayah atau
georafi. Orang-orang beragama lebih dekat satu sama lain karena mereka mengenal
seperangkat nilai-nilai dasar sebagai pedoman bagi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Agama mempunyai 2 dimensi yaitu transcendental (ukhrowi) menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhannya dan mondial (duniawi) menyangkut hubungan manusia
dengan manusia lain dan lingkungan.
Menurut DR. Nico Syukur Dister ditinjau dari segi psikologi agama ada 4 macam motivasi kelakuan bergama :
1.
Agama sebagai sarana untuk mengatasi frustasi.
2.
Agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
3.
Agama sebagai sarana untuk memuaskan intelak yang ingin tahu.
4.
Agama sebagai sarana mengatasi ketakutan.
Tinjauan
ini bersifat fungsional, sedangkan dibalik itu masih ada motif lain yang lebih
dalam yang tidak bisa lepas dari sifat dan kodrat manusia itu sendiri.
Dimensi komitmen agama
Dimensi
komitmen agama menurut Roland Robertson :
Dimensi
keyakinan mengandung perkiraan/harapan bahwa orang yang religius akan menganut
pandangan teologis tertentu.
•
Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan berbakti, yaitu perbuatan untuk
melaksanakan komitmen agama secara nyata.
•
Dimensi pengerahuan, dikaitkan dengan perkiraan.
•
Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, semua agama mempunyai perkiraan
tertentu.
•
Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku
perseorangan.
PELEMBAGAAN
AGAMA
Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengupamakan sebagai sebuah telepon. Jika
manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti
kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau
dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh
pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama.
Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari
lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut
bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan
penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah
mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi
melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.
Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga
agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut
saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering
membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut)
yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru
ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa
baru.
Kasus-kasus
itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi
juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di
Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde
Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi.
Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk
penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi
pemerintah.
Namun
ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut
suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian
terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang
formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran
agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama
monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian.
Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai
cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya
pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa - desa.
Demi
pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka
upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan
di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan
dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman
air dan pupuk yang segar.
Anehnya
sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin
segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun
menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan
praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan
hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu
upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan
pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau
pimpinan agama.
Agama
sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak
memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui
dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan
bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
AGAMA, KONFLIK DAN MASYARAKAT
Di
Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi
oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai
perjalanan sejarah Indonesia.
Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama 4 tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampung halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasih
Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama 4 tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampung halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasih
sumber:
https://abiand.wordpress.com/tugas/9-agama-dan-masyarakat/
http://rudyansyah08.blogspot.com/2012/01/agama-dan-masyarakat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar