“Aku sangat beruntung kini berada di Jakarta,” kata Furika sambil mengamati
satu demi satu gedung-gedung pencakar langit dari jendela bis kota. “Aku
merasakan hal yang berbeda dengan kebiasaan orang-orang di Fukushima.”
“Apa yang membuatmu begitu beruntung karena tinggal disini? Padahal,
Fukushima jauh lebih indah ketimbang Jakarta, bukan?” Putri menatap bingung
wanita tersebut dengan sejuta keheranan.
Furika tersenyum.
“Eh? K-kenapa kamu malah tersenyum?” kebingungan Putri semakin menjadi.
“Aku tidak akan menemukan kebudayaan yang beragam dengan berbagai jenis
bahasa dan pola pikir manusianya yang unik di Fukushima,”
“Tapi, Furika, bukannya di Jepang sendiri juga memiliki berbagai macam
budaya dan jenis bahasa yang berbeda di tiap wilayah di Jepang?”
“Memang benar, tapi tidak sebanyak disini, Putri. Aku sangat kagum dengan
orang-orang disini, banyak hal yang sebelumnya terasa asing buatku, terutama
dari bahasa dan makanan,”
“Bahasa dan makanan?”
“Iya, bahasa disini benar-benar sangat kaya, ya? Setiap kali aku menemui
orang yang baru ku kenal pasti logatnya berbeda, meskipun sama-sama menggunakan
bahasa Indonesia. Selain itu, makanan yang ada di kota ini begitu banyak sekali
sampai aku saja bingung mana yang harus aku makan terlebih dahulu, lho! Soalnya
semuanya enak banget! Huaaaa!”
“Eh? S-sebegitukah kamu menyukai makanan-makanan disini, Furika?”
“Ya! Kekayaan bahasa dan makanan itulah yang membuatku kini betah disini,
bertemu berbagai jenis lapisan masyarakat, juga mempelajari lebih dalam tentang
kebiasaan-kebiasaannya. Bagiku, begitu banyak tentang kekayaan bahasa dan
budaya di Indonesia yang perlu aku cari tahu lebih jauh lagi. Dan....”
“Dan apa?”
“Haltenya kelewatan...”
Putri segera menoleh ke luar pintu bis untuk mengecek posisi saat ini.
—Beri waktu untuk hening sesaat—
.
.
.
.
“Waduuh, Pak! Kiri, Pak! Kiri!”
Keadaan bis yang sedang kencang langsung terhenti dengan kilat dan sedikit
memberi efek benturan yang cukup ngejreng untuk kepala Putri dan Furika. Putri
pun segera menarik tangan Furika yang masih setengah sadar akibat pusing yang
mengguncang.
“Aduuh, pusing pala berbi nich!”
“Furika............. Sadarlah.”
Ya, disaat kepala sedang asyik bergoyang disko, mereka juga harus
berkeringat disko untuk mengejar bel sekolah yang akan berbunyi dalam waktu
lima
Empat
Tiga
Dua
Satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar