Di bawah sejuknya embun pagi yang meneduhkan, terlihat
seorang anak perempuan sedang terduduk pasrah di sebuah bangku roda dekat pohon
beringin besar. Wajahnya begitu murung, tak sebanding dengan cerahnya langit
Bogor kala itu. Ia terus mengerutkan mimik wajahnya, merasakan sebuah beban
dosa yang sedang dipikulnya.
Namanya Tasya, umurnya masih sebelas tahun. Ia merupakan
satu dari ratusan anak-anak yatim piatu yang tinggal dan diasuh di sebuah panti
asuhan. Tasya tak mau melanjutkan sekolah lantaran cacat fisik dan traumanya
yang sulit ia terima. Mata kirinya buta, kaki kanannya buntu, dan luka bakar
yang menguasai hampir seluruh tubuhnya. Sungguh bukan masa kecil yang sangat ia
dambakan.
Tasya hanya merespon dengan tatapan iri setiap kali
melihat teman-temannya bermain, berlari dan tertawa. Lidahnya kelu. Hatinya tak
pernah tergugah untuk larut dalam kegembiraan mereka. Ia merasa, mereka hanya
ingin merendahkan dirinya secara halus.
Bayang-bayang masa yang mencekam itu terus berputar dan
semakin menguasai pandangan dan dadanya. Begitu sesak. Peristiwa yang terjadi
begitu singkat itu telah menelan seluruh tawa dan bahagia yang pernah ia
rasakan seumur hidupnya.
****
“Baiklah, besok pagi kita akan ke Bandung,” sahut ayah
sambil mengelus kepala Tasya.
“Ah, sungguh??” jelas Tasya. “Asyiiik! Akhirnya kita ke
Banduuuung! Horee! Horee!”
Wajah sumringah terus ditampakkan olehnya. Tasya begitu
senang tak terkira, permintaanya benar-benar diwujudkan oleh ayah dan
ibundanya. Impiannya untuk berlibur ke sebuah taman bermain indoor terbesar di Bandung sudah di
depan mata. Sorakan Tasya mengiringi perjalanan itu. Bagaimana tidak, liburan
akhir tahun merupakan masa yang paling ditunggu-tunggu olehnya.
Tasya merupakan anak semata wayang. Ibunya telah divonis
mengalami kanker serviks stadium lanjut. Namun hal ini tak pernah diketahui
oleh Tasya. Ia terus merengek menanti kehadiran adik untuk menemaninya bermain
layaknya teman-teman seusianya. Ia sangat mengharapkan suasana rumah yang ramai
dan penuh canda tawa, bukan keheningan sepanjang hari. Orangtuanya tak pernah
sekalipun ada di rumah saat dirinya terbangun. Hari-harinya hanya didampingi
bersama Bi Tari, wanita paruh baya yang telah mengabdi di keluarga kecil
tersebut sejak Tasya dilahirkan.
Namun, siapa sangka, suasana liburan yang sangat Tasya
impikan ternyata menjadi petaka bagi masa depannya. Mobil keluarga ini
mengalami rem blong dan menabrak sebuah truk minyak dan sebuah mobil travel
yang berada di depannya. Seketika ketiga mobil tersebut terbakar di tempat dan
menghanguskan semuanya, termasuk ayah dan Bi Tari. Sedangkan ibu meninggal di
perjalanan menuju rumah sakit dengan darah dan luka bakar yang tidak kalah
serius dengan Tasya. Naas, kini hanya dia, satu-satunya korban selamat dari
kecelakaan beruntun itu.
Tasya berdecik kesal, mengapa ia tak turut tewas bersama
orangtua dan Bi Tari. Ia merasa sama sekali tidak beruntung nyawanya selamat
bilamana ia harus hidup tanpa orang-orang yang ia cintai, apalagi jasadnya
sudah tidak utuh lagi seperti dahulu.
Untuk
apa aku hidup kalau Allaah menjadikanku manusia menjijikan seperti ini.
Kumohon, sadarkanlah aku dari mimpi buruk yang sangat melelahkan ini..
****
Sorotan pandangan Tasya tak hentinya menatap hampa
sekelilingnya. Seakan bumi sangat ingin mengusirnya dari kehidupan ini. Satu
demi satu tetes air dari matanya mulai membasahi kulit pipinya yang penuh
nanah. Dunia sudah tak berpihak padanya. Dunia telah membiarkannya hidup
kesepian. Dunia nampak segan untuk ditapaki oleh sesosok manusia tak berguna
sepertinya.
Tangan Tasya mulai memutar roda kursi, mencoba
meninggalkan tempat persinggahannya. Meninggalkan manusia-manusia yang hidup
senang diatas penderitaannya. Ia terus pacu kursinya dengan sekuat tenaga agar
segera sampai ke kamarnya. Ia sudah tidak tahan jika panca inderanya
terus-menerus dicekoki suara tawa dan pemandangan kebahagiaan seperti itu.
Tibalah ia tepat di depan pintu kamarnya. Memang kamar
itu bukan diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Ada lima anak yang tinggal satu
kamar dengannya, namun satupun dari mereka tak pernah ingin mendekatinya. Yang
ada justru sikap penolakan dan seabreg cacian yang terus menghujaninya. Sudah
berkali-kali Tasya dipindahkamarkan, hasilnya tidak lebih baik.
Tasya mengunci pintu kamarnya. Ia tidak mau ada
seorangpun yang mengganggunya hari ini. Mencoba mengurung diri di tempat yang
tidak akan ada orang yang mampu mengusik kesendiriannya. Ini lebih baik,
baginya.
Dilihatnya sebuah cermin yang terpampang diantara lemari
dan meja. Tampak begitu besar dan bersih. Cermin tersebut mampu memperlihatkan
seluruh tubuhnya. Sungguh mengerikan. Tasya mengerti atas segenap kalimat penuh
kenajisan yang tiada hentinya dialamatkan padanya. Bahkan ia pun mual melihat
fisiknya sendiri.
Pandangannya beralih ke sebuah vas bunga yang berdiri
dengan tegaknya di atas meja. Ia dekatkan kursinya ke pusat pandangannya kini.
Perlahan, ia sentuh vas bunga tersebut lalu memegangnya. Matanya tak hilang
fokus terhadap benda tersebut. Beberapa tangkai mawar plastik yang mengisi
kekosongan wadahnya sempat membuat dirinya berdecak kagum oleh pesonanya,
meskipun hanyalah bunga imitasi.
“Bunga ini sangat cantik, sayang, hanya kepalsuan yang ia
tampakkan.” gumamnya sambil tersenyum sinis.
Bunga-bunga plastik tersebut ia jatuhkan ke lantai.
Tersisa vas bunga kosong yang ia pegang. Pandangannya kembali pada cermin,
terlihat lagi sebuah pemandangan fisiknya yang buruk rupa. Tanpa berpikir
panjang lagi, vas bunga yang masih tergenggam kuat di tangannya telah terhempas
kuat dan menubruk cermin dengan amat keras, memecahkan kedua benda tersebut
menjadi beberapa kepingan.
Tasya terdiam sejenak, menyadarkan perbuatan yang baru
saja ia lakukan sembari melihat serpihan kaca dan vas bunga yang berserakan di
lantai. Tangan kanannya mencoba meraih satu keping kaca yang ujungnya sangat
runcing. Iya, dia berhasil meraih kepingan itu dan mulai menggenggamnya dengan
penuh gemetar. Ia amati kepingan tersebut dengan seksama. Dengan perlahan, ia
arahkan keping kaca itu tepat di pergelangan tangan kirinya.
****
“Lho, suara apa itu?” suara hantaman kaca tersebut
terdengar ke seluruh pelosok panti. Seketika menghentikan sejenak hawa
kebahagian kala siang mulai menyambut. Utari sempat menghentikan waktu bermain
bersama anak-anak asuhannya.
“Oh iya, kak? Tasya mana?” tanya Fani, salah seorang anak
asuhan panti tersebut.
Utari tak menjawab perkataan Fani, justru hatinya
mempertanyakan hal yang sama. Selama anak-anak bermain di taman, ia tak
sedikitpun melihat Tasya berada di sekitar taman.
Seluruh penghuni panti berusaha menelusuri setiap ruangan
yang ada. Ditemukanlah sebuah kamar yang tertutup rapat dan terkunci dari
dalam.
“Tasya? Buka pintunya!” desak Utari sambil berusaha
mendorong kuat gagang pintu.
Kepanikan Utari memuncak ketika Tasya terus-menerus
menghiraukan ucapannya. Pintu tersebut memiliki sebuah kaca kecil yang cukup
untuk sepasang mata melihat situasi di dalam kamar. Tampak begitu jelas sebuah
keping kaca berada dalam genggaman anak itu.
“Tasya? Cepat buka pintunya!” tegas Utari.
Tubuhnya yang kurus tak cukup kuat untuk mendobrak pintu
seorang diri. Anak-anak yang menyaksikan kejadian itu hanya diam terpaku.
Hingga akhirnya Utari memanggil Pak Wahid, tukang kebun panti, untuk
membantunya mendobrak pintu kayu tersebut. Tak butuh waktu yang lama, pintu itu
terbuka lebar, menyingkap tabir di balik ruang yang terkunci.
“Tasya, apa yang kamu lakukan??” ujar Utari dengan
kepanikan yang begitu tinggi sambil menepis kaca yang sedari tadi digenggam
Tasya.
“Kak Uta..,” lirih Tasya dengan aliran air matanya yang
begitu deras membasahi pipinya. “Aku sudah tiak kuat untuk hidup. Aku lelah
menghadapi kesendirian yang berkepanjangan. Aku capek, kak,”
“Sayang..,” ucap Utari dengan pelukan serta elusan lembut
di kepala Tasya. “Kamu tidak sendiri, Tasya. Masih ada aku, teman-temanmu dan
ibu panti yang tidak pernah luput untuk memperhatikanmu,”
“Aku tak pernah merasa dilindungi disini,” lanjut Tasya.
“Semua orang di panti telah membenciku. Mereka selalu mengejekku dengan
julukan-julukan yang buruk. Bahkan dua bulan yang lalu, setelah peristiwa itu, pamanku
tak ingin merawat keponakannya sendiri dan memilih menitipkan aku kesini. Aku
memang tidak pantas untuk hidup bersanding dengan kalian yang memiliki fisik
yang sempurna. Seharusnya aku mati saja bersama ibu, ayah dan Bi Tari. Mungkin
aku tidak akan pernah merasakan penyiksaan seperti ini,”
“Tasya, tak patut ucapan itu terlontar dari mulutmu,
sayang. Kak Uta benci kata-katamu!”
“Tapi, kak...,”
“Tasya, tiada yang tahu bagaimana takdir-Nya kelak.
Jangan hujat nikmat-Nya hanya karena cobaan yang begitu menyiksa, namun
patutlah kita sebagai umat yang patuh pada ajaran-Nya untuk selalu bersabar dan
yakin bahwa pasti akan ada jalan yang lebih baik setelah ini. Ingatlah, jangan
pernah sugestikan dirimu sendiri bahwa dunia membencimu. Anggap segala
kekurangan pada dirimu adalah kelebihan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan
orang. Kamu wajib bersyukur atas itu,”
Tasya tak hentinya menangis, mencoba merenungi tiap kata
yang terucap dari Utari yang sangat menampar dirinya. Ia kini mulai menyadari
atas keputusan-keputusan salah yang hampir saja dilakukannya.
“Tasya...,” sahut Ani, teman satu panti Tasya, mencoba
mendekat. “Maafin kita ya kalau selama ini sering ngatain kamu. Kita janji deh,
gak bakal ngelakuin itu lagi..”
Ani langsung memeluk Tasya dengan segala ungkapan rasa
bersalahnya. Tak disangka, seluruh anak-anak panti serentak meminta maaf dan
juga memeluknya. Tasya tertegun, tak ada sepatah katapun yang sanggup ia
rasakan selain ungkapan kebahagiaan yang sudah mulai ia rasakan kembali setelah
dua bulan membeku. Segalanya terasa seperti terlahir kembali, meski fisik tak
mungkin terganti.
Ya
Allaah, terima kasih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar