Seorang kakek sedang meneduh di teras sebuah rumah sakit
yang cukup megah di pusat kota. Sebagian besar tubuhnya sudah sangat lusuh karena
lebatnya air hujan yang telah mengguyurnya. Ia coba hangatkan tangannya yang
sudah keriput itu dengan hembusan napasnya sambil terus menyimak tiap tetes air hujan yang
tidak kunjung reda. Mata kirinya sudah tidak lagi fokus melihat segala sesuatu
yang ada di sekitarnya akibat katarak yang telah ia derita selama lebih dari
satu tahun. Usianya yang semakin senja membuatnya terpaksa untuk tetap
memerjuangkan sisa umurnya untuk bertahan hidup, meski sebatang kara sekalipun.Sesaat
kepalanya menoleh ke seonggok karung beras bekas yang ada di sisi kanannya.
Botol-botol plastik serta hasil buruan lainnya yang telah ia peroleh hari ini
basah semua. Sayang, jumlah barang yang didapat tidak sebanyak kemarin atau
hari-hari sebelumnya, ditambah rejekinya terhambat oleh hujan. Harus
ikhlas atas apa yang didapat hari ini.
Seketika perut kakek itu terasa bergoyang, menuntut untuk
segera diisi. Semakin ditahan justru semakin menjadi. Tak ada uang satu lembar
pun di sakunya, hanya ada satu buah koin dua ratus rupiah sisa kembalian membeli
air kemasan gelas.
“Sabar, sebentar lagi waktunya makan siang.” Ia berusaha
menahan diri dari rasa laparnya hingga hujan reda dan segera kembali memungut
sampah-sampah plastik yang kiranya bisa ditukar dengan uang.
Tiga puluh menit berlalu, derasnya hujan tak kunjung
surut. Kesabaran si kakek terus diuji lebih lama. Ditambah pemandangan sebuah gerobak
bakso yang baru saja ikut parkir di teras rumah sakit tersebut. Wangi kuahnya
yang khas sempat terhirup oleh hidungnya. Tapi apa daya, ia hanya bisa
meliriknya saja.
“Bang, baksonya seporsi ya, gak pakai bihun.” Seorang
pria tampan berkacamata dengan tubuhnya yang tinggi berisi dan dibalut dengan
jas putih menghampiri tukang bakso yang sedari tadi duduk termenung di depan
gerobaknya.
Pesona pria ini sempat menaruh simpati si kakek,
memerhatikan tiap detail yang melekat pada sosok itu. Tapi hanya sesaat, kakek
ini tiba-tiba murung dan menundukkan kepalanya.
“Kek, bakso kek?” Pria tersebut melontarkan basa-basi.
“Ah, iya nak, makan saja.” Jawab kakek sambil tersenyum.
Ia sempat terkejut atas sikap pria itu kepadanya. Baru
kali ini ia disapa orang seseorang yang baik rupanya.
“Kakek daritadi berteduh disini?”
“Iya, nak. Saya mau mulung lagi tapi hujannya gak
reda-reda, keburu sore nih.”
Perbincangan sempat terhenti.
Si
kakek kembali menunduk sambil
menggosok-gosokkan tangannya yang terasa semakin dingin. Kemudian ia perhatikan
pria rupawan tersebut menghampiri tukang bakso tersebut, entah untuk apa. Ia berusaha
untuk tidak acuh. Tak lama, pria itu kembali mendekatinya, lalu mengajaknya untuk
berinteraksi santai. Suasana menjadi mencair saat itu juga.
“Nama saya Bagus, kek. Kebetulan hari ini ada jam praktek
disini dari pagi sampai malam dan tadi belum sempat sarapan jadi saya ambil jam
istirahat lebih awal.”
Si
kakek memperjelas, “Oh, jadi nak
Bagus dokter disini toh?”
Bagus mengangguk. Matanya dengan tajam menyorot raut
wajah kakek tersebut yang sudah sangat tua itu.
“Hmm, kakek sudah berapa lama bekerja seperti ini?”
“Saya gak ingat lagi kapan persisnya,” jawab kakek-kakek
itu. “Yang jelas waktu itu saya pernah ikut memulung bersama bapak saya.
Setelah bapak meninggal, saya menikah dan memulung bersama istri saya.”
“Baksonya, pak.” Kedatangan tukang bakso sambil
memberikan dua mangkuk bakso yang masih panas itu berhasil mengalihkan
pandangan mereka.
“Ayo, kek. Dimakan baksonya, mumpung masih panas,” Bagus
memberikan semangkuk bakso kepada kakek-kakek itu.
Si
kakek mengernyit, “Lho, nak Bagus?
Kakek kan gak pesen bakso?”
“Udah, kek. Saya tahu kakek sedang lapar, apalagi kalau
cuaca dingin seperti ini biasanya perut lebih sensitif kalau mencium aroma
makanan.”
Si kakek hanya menampakkan sekelumit tawanya, membuat
Bagus juga merasakan satu titik kebahagiaan bersama semangkuk bakso hangat di
tengah cuaca dingin yang menguasai mereka. Sambil menyeruput kuah yang masih
sangat panas, si kakek menceritakan tentang riwayat hidupnya, dimulai sejak
masih belia hingga menjadi pemulung di usia senja. Memorinya masih sangat baik
untuk menceritakan kisah hidupnya secara detail meskipun rambut putih sudah
memenuhi kulit kepalanya.
“Waktu kakek masih muda, kakek sudah yatim piatu. Kakek
juga gak tahu apa sebenarnya kakek ini punya kakak atau adik atau memang harus
ditakdirkan sebatang kara seumur hidup. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain,
kakek dipertemukan oleh seorang gadis yang garis kehidupannya mirip seperti
kakek. Dia juga pemulung, tidak punya keluarga.”
“Lalu, bagaimana kabar istri kakek?” Bagus menajamkan
penglihatannya.
Si kakek menghela napas, “Terkadang kakek merasa
menyesali kehendak Tuhan yang sering berubah-ubah itu. Baru saja kakek merasa
tidak lagi kesepian, tiba-tiba Tuhan menarik lagi seluruh kebahagiaan kakek.
Istri kakek meninggal karena ditabrak, disaat hamil muda pula. Jikalau kakek
dapat memarahi Tuhan, pastilah kini kakek meminta untuk mengembalikan seluruh
kebahagiaan kakek,”
Si kakek menjeda percakapannya. “Hidup kakek juga penuh
dengan kelumit hutang yang bertumpuk. Hutang-hutang yang sudah bertahun-tahun
lamanya belum sanggup kakek lunasi satu demi satu.”
Nafsu makan kakek seolah menurun tatkala bayang-bayang
istrinya kembali memenuhi khayalnya.
“Kakek, boleh ikut saya sebentar?”
Si kakek terkejut atas ajakan tersebut, “K-kemana, nak
Bagus?”
“Ke ruangan saya, kita selesaikan masalah kakek di dalam
saja, bagaimana?”
“T-tapi?”
“Tenang, kek,” ujar Bagus meyakinkan. “Kakek akan
baik-baik saja. Lagipula alangkah lebih aman jika kakek bisa ceritakan semuanya
di ruangan saya.”
Masih ragu untuk mengiyakan, namun ucapan Bagus seolah
telah memunculkan keyakinan si kakek bahwa dirinya akan baik-baik saja setelah
ini. Hingga akhirnya, mereka segera meninggalkan teras yang basah terkena
cipratan air hujan dan juga mangkuk bakso yang telah menemani mereka selama
sekian menit bersama.
Begitu terkejutnya si kakek tatkala ia melihat seisi
ruangan yang dipenuhi oleh peralatan dokter serba canggih dan sangat nyaman. Ia
berjalan mengitari ruangan yang cukup besar itu, memerhatikan tiap alat yang
ada. Ini adalah kali pertamanya ia memasuki sebuah rumah sakit mewah dalam
hidupnya.
“Kek?” Tepukan tangan seketika mendarat di bahunya secara tiba-tiba membuat si kakek menoleh dengan ekspresi yang
luar biasa kaget.
“Kakek kenapa?” tanya Bagus heran. “Apa ada yang salah,
kek?”
“Ah, tidak, nak Bagus. Dulu kakek kepingin sekali anakku
bisa menjadi seorang dokter.”
Bagus perlahan menjatuhkan tangannya lalu membiarkan si
kakek melihat seisi ruangannya tersebut sejenak.
“Kek, saya ingin menunjukan sesuatu kepada kakek, boleh?”
sahut Bagus pelan.
Mata kakek akhirnya menatap wajah Bagus dari dekat dengan
pandangan yang penuh penasaran. “Apa yang ingin nak Bagus tunjukkan kepada
kakek?”
Bagus membalikkan badannya menuju meja yang tertata rapi
di sisi kiri ruangan tersebut. Ia ambil sebuah piranti kecil dan segelas air
mineral lalu diperlihatkan kepada si kakek yang sangat menantinya.
“Saya sangat mengerti keadaan kakek saat ini. Untuk itu,
saya ingin menawarkan sesuatu untuk kakek.”
Dilihatnya sebuah piranti tersebut dengan dua buah benda
sejenis pil. “Kalau boleh tau, itu apa, nak Bagus?”
“Di tangan saya ada dua buah pil, ada pil merah dan pil
biru. Jika kakek memilih pil merah, kakek akan meraih kembali seluruh
kebahagiaan kakek bersama keluarga. Kakek akan merasakan cinta yang sangat
kakek rindukan. Jika kakek memilih pil biru, kakek akan mendapatkan diri kakek
menjadi seorang yang sangat kaya raya seumur hidup kakek. Seluruh hutang-hutang
dan segala kebutuhan hidup kakek akan terpenuhi. Tapi,”
“Tapi, apa?”
“Kakek hanya boleh memilih salah satu pil saja.”
Si kakek tak berkutik, matanya tak lepas dari sorotan ke
arah wajah Bagus yang membuatnya kini semakin tak percaya akan semuanya.
“Kakek cukup memilih salah satu dari kedua pil ini lalu
meminumnya, maka setelah ini kakek akan melalui babak baru dalam hidup kakek.”
“Apa benar diriku akan baik-baik saja?”
Bagus mencoba menghibur si kakek dengan guratan senyumnya
yang sangat menawan itu. “Tentu saja, kek. Semua akan baik-baik saja.”
Segala pertimbangan dan ego dari hati si kakek bercampur
aduk,
bagaikan mendapat bisikan yang
beraneka ragam dari makhluk-makhluk gaib yang terus memutarbalikkan
keinginannya. Selang beberapa menit, tangannya mulai mengarah ke piranti
tersebut. Begitu dingin dan gemetar hebat. Jemarinya ragu untuk mengambil
tindakan, sesaat ke arah pil merah dan sesaat ke arah pil biru. Terus seperti
itu.
Matanya terpejam, ia tarik napas begitu dalam. Semakin
lama, si kakek merasakan jantungnya berdebar begitu cepat dari biasanya. Hingga
akhirnya, dengan keyakinan sudah bulat, pil biru kini di genggamannya lalu ia
tenggak dengan cepat. Segelas air mineral telah habis dalam waktu yang singkat.
Si kakek bernapas lega.
“Apa yang membuat kakek lebih memilih uang ketimbang
cinta?” tanya Bagus penasaran.
“Nak Bagus, jika pil yang kakek minum tadi bisa membuat
kakek menjadi kaya, maka kakek yakin bahwa waktu akan segera menjawab segala
kebingunganmu.”
Tidak berselang lama, tiba-tiba terdengar suara seseorang
mengetuk pintu ruangannya. Bagus membukanya dengan segera.
“Selamat sore, Pak. Kami ingin mencari Tuan Ahmad.”
Terlihat beberapa pria berdasi dengan jas dan celana serba hitam mendatangi
mereka.
Si kakek penasaran dengan suara tamu yang baru saja
datang. Ia menghampiri sumber suara dan melihat keadaan di luar.
“Kalian siapa?” tanya si kakek linglung.
“Sore, Tuan. Hari sudah semakin malam, Tuan harus segera
kembali ke rumah.”
“...Rumah?”
****
Dalam perjalanan, si kakek yang diketahui bernama Ahmad
tersebut masih takut dan terheran-heran luar biasa. Ia kini berada di dalam
sebuah mobil yang sangat mewah. Di dalamnya terdapat supir dan seorang pria
gagah yang sama sekali tidak ia kenali. Begitu juga dengan jejeran beberapa
mobil lainnya di belakang mobil tersebut mengawalnya ke suatu tempat.
“Kalian ini sebenarnya siapa? Saya m-mau dibawa kemana?”
Si kakek tak luput dari rasa cemas.
“Sebentar lagi kita akan sampai rumah, Tuan dimohon
bersabar.”
“Rumah? Rumah saya bukan ke arah sini tapi ke arah
Ciliwung sana! Kalian ngawur atau bagaimana? Cepat putar balik, cepat!”
Pria yang menjaganya seketika bingung, “Tenang, Tuan. Sepertinya
Tuan butuh istirahat yang banyak.”
Beberapa menit kemudian, sampailah mereka pada sebuah
rumah megah dengan taman yang luas dan mobil yang berkilauan. Begitu herannya
si kakek melihat seluruh pemandangan yang sangat ekstrim ini. Para pengawal pun
segera mengantarkan si kakek ke sebuah kamar yang luas dan sangat nyaman. Kasur
empuk, dinding berlapis emas, lantai berlian, full-AC dan dilengkapi oleh
televisi layar besar dan kamar mandi di dalamnya. Bukan tidur nyenyak yang ia
lakukan, justru tercengang tiada berkesudahan.
“Tuan, ingin minum apa?” tiba-tiba seorang wanita muda menghampirinya.
“Lho, kamu siapa?” ujar si kakek terkejut.
“M-maaf, Tuan, saya hanya ingin menawarkan minuman. Apa
Tuan ingin dibuatkan sesuatu?”
Si kakek hanya memandang datar, “Kopi hitam saja.”
Di dalam kamarnya, si kakek hanya termenung sambil
melihat seisi ruangan dipenuhi dengan barang-barang berkilauan yang entah dari
mana asalnya. Kamar mandi yang berada di sudut ruangan pun tak luput dari
perhatiannya. Ia buka pintu tersebut dan betapa terkejutnya ia ketika melihat
peralatan-peralatan mandi yang asing baginya.
“Tuan ingin dibuatkan air hangat?” suara wanita itu
kembali terdengar. Seketika si kakek menoleh ke arah sumber suara.
“Ah, tidak, nanti saja mbak.” Si kakek menggeleng dan
kembali ke kasurnya. “Kopinya mana, mbak?”
“Ini, Tuan. Sudah saya letakkan di meja.”
Si kakek segera mendekati meja dan menyeruput kopi hangat
di genggamannya. Sang wanita tersebut segera keluar dari kamarnya.
“Eh, mbak, mbak?” sahut kakek memanggil.
“Ada apa, Tuan?”
“Boleh saya minta tolong?”
“Apa itu, Tuan?”
“Saya ingin sekali membuat sebuah sekolah, mbak bisa
bantu saya?”
****
“Si kakek sekarang jadi perbincangan banyak sekali orang
di seluruh dunia, ya.”
Hari ini, tepat tiga tahun yang lalu. Pertemuannya dengan
seorang kakek yang kini menjadi orang terkaya membuat dirinya ingin sekali
mengetahui kabarnya secara langsung. Pemberitaan di televisi di pagi hari ini
membuka topik harian yang disambut decak kagum seluruh manusia. Bagus sangat
menyimak sekali berita tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu yang
cukup mengagetkannya. Seingatnya, ia tidak memiliki janji dengan pasien di pagi
hari. Karena penasaran, Bagus segera membukakan pintu.
“Selamat pagi, Pak. Apa benar Anda bernama Bagus
Pratama?” Nampak
begitu ramai sekali orang-orang berpakaian rapi di depan ruangannya.
“Iya, benar. Dengan siapa?”
“Nak Bagus masih mengingat saya, kah?” Terdengar suara
laki-laki di balik kerumunan pria gagah yang begitu familiar di telinganya.
“K-kakek?!” Begitu terkejutnya ia tatkala sang kakek yang
sangat dirindukannya datang menemuinya. Pelukan erat serta rasa haru menghiasi
ruangannya pagi itu. Sungguh sebuah pertemuan yang sangat dinanti.
Bagus mengajak si kakek untuk duduk bersamanya, sedangkan
orang-orang yang ternyata adalah body
guard kakek menunggu di luar.
“Nak Bagus, saya ingin menjawab pertanyaan nak Bagus tiga
tahun lalu. Apa nak Bagus masih ingat?”
“P-pertanyaan?”
“Masalah pilihan saya untuk memilih pil....”
“Ah, masalah pil itu?” ucap Bagus kaget.
“Iya, nak Bagus,” jawabnya. “Bukannya saya munafik, jujur
saya memang rindu dengan keluarga saya. Memang saya sempat merasakan kemarahan
terhadap Tuhan. Meskipun begitu, saya tidak ingin merusak ketetapan Tuhan. Jika
saya memaksa keluarga saya untuk hidup kembali demi saya, maka saya sudah
mengganggu istirahat panjang mereka. Untuk apa saya menginginkan mereka hidup
kembali kalau suatu saat mereka akan mati kembali?”
Si kakek menghela nafas, “Memang cinta tak dapat dibeli
dengan uang, namun dengan uang kita dapat berbagi dan merasakan cinta. Sekarang,
toh saya bisa merasakan kebahagiaan yang jauh lebih bermakna. Bersama anak-anak
jalan dan anak-anak yatim dan piatu, saya dapat berbagi rasa kasih sayang
kepada mereka. Mereka sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Saya sangat
peduli dengan kehidupan mereka. Saya ingin sekali, anak-anak saya tidak lagi merasakan
kepahitan hidup seperti saat saya masih seumur mereka. Dan, saya benar-benar
sangat bersyukur, di penghujung usia saya, saya dikelilingi oleh segudang kasih
sayang yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.”
(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com.)
(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com.)
postingannya bagus :D
BalasHapusmampir juga ya kak di blog aku ekienglandmuse.blogspot.co.id
salam kenal