Sudah sekitar empat bulan terakhir, bapak sering keluar-masuk rumah
sakit akibat penyakit maag akut yang sering kambuh. Kebiasaan bapak meminum
kopi lebih dari tiga kali dalam sehari membuatnya kini harus merasakan perihnya
lambung yang sulit dikontrol. Hanya Ema bersama kakaknya, Nia, yang berjuang
keras merawat bapak. Gaji Nia yang berprofesi sebagai buruh pabrik tidak akan
cukup untuk melunasi biaya-biaya pengobatan yang selangit. Keadaan ini memaksa
Ema untuk mengambil cuti kuliah selama mengurusi bapak. Ia rela berkeliling
kampung untuk menjajakan susu kedelai dan aneka kue dari pagi buta hingga menjelang
petang.
Suatu hari, Nia baru saja pulang bekerja bertepatan dengan
kumandang azan Magrib. Ia bergegas menuju dapur untuk membuat segelas teh
hangat. Ema yang sudah lebih dahulu di dapur terlihat sedang menyeduh sesuatu
di sebuah cangkir antik berwarna putih itu.
“Lho, Ema, kamu mau menyeduh apa?” tanya Nia penasaran.
“A, anu, tadi...,” jawab Ema gugup. “Tadi bapak bilang katanya haus
sekali, lalu bapak minta secangkir kopi panas.”
Nia mendekat dengan langkah tergesa-gesa, “Jangan, Ema! Pokoknya jangan
kasih kopi itu ke bapak!”
“Tapi, kak, tapi kopi hitam itu kesukaan bapak. Kakak juga tahu
bagaimana bapak? Lagipula, kan, hanya sesekali Ema buatkan kopi panas, masa
tidak boleh?”
Dengan berbagai cara Ema lakukan untuk memberikan pembelaan, tapi
semua bisa ditangkis mentah-mentah oleh Nia. “Kamu tahu, kan, maag bapak
sekarang sudah kronis? Terus kamu mau bapak mati perlahan? Kalau kamu masih
sayang sama bapak, jangan pernah kasih kopi itu lagi! Buang kopi itu atau,”
Ema menyanggah dengan nada menantang, “Atau apa, kak?”
Kedua mata mereka saling bertemu, menatap tegas dengan emosi yang
berburu. Nia berusaha tenang lalu mengambil napas sejenak, “Ema, dengar kakak.
Sudah berkali-kali, kan, aku memberitahumu tentang penyakit bapak. Kumohon,
Ema. Untuk terakhir kalinya, jangan pernah kamu sempatkan menyeduh kopi untuk
bapak. Ingat itu.”
Sesaat Nia masih menatap Ema dengan penuh kemarahan sampai akhirnya
berlalu menuju kamarnya. Ema yang masih kesal dengan Nia hanya mematung menatap
cangkir. Terlihat bayangan wajahnya dari permukaan kopi berwarna hitam pekat
yang masih mengepulkan asapnya itu.
Tidak lama kemudian, Ema seperti mendengar sayup-sayup suara bapak.
Ia segera berlari menuju kamar bapak dan meninggalkan secangkir kopi yang mulai
dingin. Ema tidak berniat untuk membuang atau meminum kopi itu. Entah, mungkin
kopi itu akan selamanya berada di dalam cangkir tersebut sampai basi.
***
“Bapak tadi memanggil aku?” kepanikan Ema sempat membuat bapak
sedikit kaget tatkala pintu kamar yang tiba-tiba terbuka dengan cepat.
Bapak tidak mengatakan apapun, hanya menatap Ema dari kasur
lusuhnya. Ema yang masih penasaran mencoba berjalan perlahan dengan wajah yang
penuh tanya. Lalu ia duduk di sisi kiri kasur tepat di samping tubuh bapak.
“Bapak, Ema minta maaf, ya,” Raut wajah Ema menjadi sendu. “Hari
ini tidak ada kopi untuk bapak, tadi kak Nia melarang keras Ema untuk menyeduh
kopi lagi.”
Tiada kesedihan yang Ema lihat dari raut wajah bapak saat itu
selain senyum kecil dari bibir pucatnya dan mata yang berkaca-kaca. Tangannya
seketika menggenggam kuat tangan Ema, terasa sangat dingin saat menyentuh
kulitnya. Air mata Ema mengalir begitu saja di pipinya, melihat kondisi bapak
yang tetap tersenyum meskipun dalam kondisi yang lemah seperti itu.
“Bapak, Ema sayang sama bapak,” Ema memeluk bapak begitu cepat
seakan seperti bergerak tanpa perintah. Ia keluarkan air matanya di pundak
bapak hingga puas.
“Ema minta maaf kalau selama ini tidak mau menuruti apa kata kak
Nia dan dokter. Aku akui, aku memang bandel. Aku tetap rutin membuatkan kopi
untuk bapak karena Ema ingin menghibur bapak dan sama sekali tidak tega menahan
bapak untuk tidak minum kopi. Andai saja Ema tidak egois! Andai saja sedari
dulu Ema...”
Air mata Ema semakin deras mengalir hingga ke pundak bapak. Lidah
Ema tiba-tiba kelu, begitu sulit menjabarkan semua keinginan Ema kala itu. Untaian
kata yang sempat terputus tidak sanggup ia lanjutkan kembali. Tubuhnya mulai
lemas dan pikirannya buntu. Pelukan dan elus kasih bapak benar-benar berhasil
membuat Ema luluh hingga ia sulit mengendalikan isak tangisnya.
“Sudah, dek,” ucap bapak yang akhirnya mengeluarkan suara. “Bapak
seperti ini bukan salah kamu. Bapak juga minta maaf karena selalu bikin kamu
sama kakak berantem. Bapak sebenarnya tidak mau melihat kalian seperti ini
terus, jadi sepertinya.. Lebih baik bapak... Bapak.....”
“Bapak apa?” sontak Ema mengeraskan suaranya dibalik tangisannya.
“Bapak mau apa supaya Ema gak berantem lagi sama kakak? Bapak, aku mohon,
jangan berkata hal-hal itu lagi! Ema belum siap kalau bapak ninggalin Ema
sendirian! Nanti kalau kak Nia sudah menikah, lalu pergi ke rumah barunya,
sibuk mengurus keluarga, lalu Ema sama siapa??”
Bapak melamun. Matanya kini menyoroti cermin besar di dekat pintu
kamar yang mulai kusam. Ia perhatikan Ema dari bayangan cermin tersebut.
Tubuhnya sama sekali tidak berubah selama lebih dari lima belas menit. Semakin
lama melihat cermin, hatinya semakin pedih. Lalu ia memejamkan matanya, mencoba
sekuat hati menutupi kesedihannya di depan Ema.
“Bapak...” ucap Ema dengan perasaan lebih tenang. Ia mulai
melepaskan pelukannya dan mengusap pipinya yang sangat basah. Napasnya masih
terengau dan matanya sembab.
“Ema, sana kamu tidur,” ujar bapak sambil mengelus kepala Ema.
“Besok kamu harus kuliah, dek. Ingat, besok tahun ajaran baru. Pokoknya besok
tidak ada alasan buat bolos kuliah lagi, ya? Awas ya, jangan sampai kesiangan,
lho.”
Ema tersenyum sendu sambil sibuk mengembalikan kondisi wajahnya
yang lesu, “Bapak juga istirahat yang cukup, ya? Biar besok pas Shubuh gak
kesiangan, oke?”
Tidak lupa, Ema mengajak bapak untuk tos sebelum tidur. Ya, ini
sudah menjadi kebiasaan Ema sebelum pamit tidur. Ema pun tertawa, meskipun
tidak selepas biasanya. Begitu juga bapak yang ikut tertawa, meskipun tidak
sesemangat biasanya. Setelah itu, Ema segera bangun untuk mematikan lampu dan
menutup pintu kamar bapak.
Langkah Ema terhenti sebelum sampai ke kamarnya. Ia kembali
teringat oleh ucapan bapak tentang hubungan dirinya dengan Nia yang semakin
hari semakin renggang. Wajahnya kembali terlihat murung dan pandangannya
kosong. Benar juga apa kata bapak, akhir-akhir ini aku terlalu sering adu
argumen dengan kakak, pikirnya.
“Ema, ngapain disitu?” Nia yang masih asyik duduk menonton televisi
di ruang tengah merasa aneh melihat Ema berdiri sambil melamun seperti itu.
Sontak membuat Ema benar-benar kaget dan pikirannya buyar sesaat.
“Ah, anu, g, gapapa, kok, “ jawab Ema gugup. “A, aku cuma lagi
ingat-ingat jadwal kuliah besok hehe.”
“Oh,” Nia kembali fokus ke acara drama Korea yang sedang seru itu.
“Ya sudah, sana tidur. Besok, kan, kamu mulai masuk kuliah lagi, kan?”
Ema mengangguk dan melontarkan senyum kecil ke arah Nia, meskipun
tidak peduli apakah kakaknya melihatnya atau tidak. Ia segera melanjutkan
langkahnya menuju kamar yang tinggal beberapa jengkal lagi.
***
Suara adzan Shubuh terdengar ke seluruh pelosok kampung diiringi
bunyi jam meja yang terus memaksa Ema untuk bangun. Ia yang masih setengah
sadar berusaha untuk mematikan bunyi itu, tapi nihil. Jam mejanya justru terjun
ke lantai dan pecah seketika. Sontak dirinya kaget dan matanya terbelalak,
melihat jam meja kesayangannya sudah hancur. Mulutnya berdecak kesal tatkala
meraih keping demi keping jam itu. Tak lama, Ema kembali dikejutkan dengan
suara pintu kamarnya yang terbuka secara tiba-tiba.
“Ema, kamu gak apa-apa?” tanya Nia panik.
“Ah, gak apa-apa, kok, kak,” jawab Ema dengan senyum ragu. “Tadi
aku mau matiin bunyi alarm jam, eh, malah jatuh terus pecah, deh.”
Nia menghembuskan napas lega setelah mendengar jawaban Ema,
“Alhamdulillah, syukur lah kalau begitu. Ya sudah, gih, buruan beresin jam nya
terus shalat, ya?”
Ema hanya membalas dengan anggukan saja sambil sibuk merapikan
kepingan jam tersebut dari lantai. Nia pun segera meninggalkan Ema dan kemudian
menuju kamarnya untuk melanjutkan shalat.
Setelah membersihkan kamarnya, Ema menuju dapur untuk membuang
sampah kepingan jam sekaligus menuju ke kamar mandi. Ada satu kejanggalan yang
ia rasakan saat itu dimana bapak belum terlihat sama sekali, bahkan pintu
kamarnya masih tertutup rapat.
“Tidak biasa-biasanya,” sorot mata Ema tidak kunjung berlalu dari
pintu kamar bapak. “Atau mungkin bapak shalat di masjid? Tapi, kan, bapak
bukannya masih lemas?”
Sekelumit tanya belum bisa terpecahkan kala itu, terlebih keadaan
rumah kini sangat sepi. Namun Ema tidak ingin berpikir terlalu lama, ia segera
melanjutkan langkahnya ke kamar mandi lalu menunaikan ibadah shalat Shubuh.
“Assalaamu’alaikum,” salam bapak sambil membuka pintu.
“Wa’alaikumussalam,” sahut Nia tak lama setelah itu. “Bapak, tadi
shalat di masjid, ya? Memangnya bapak sudah tidak lemas?”
“Alhamdulillah, badan bapak terasa lebih baik sekarang.”
Bapak terlihat menenteng sebuah kantung plastik hitam kecil di
tangan kanannya. Nia yang penasaran dengan barang bawaan bapak merasa heran dan
matanya terus menyoroti benda tersebut, “Ngomong-ngomong, bapak beli apa itu?”
Tiba-tiba mimik wajah bapak mulai terlihat sedikit panik sambil
senyum kecil, “A, anu, ini... Bukan apa-apa, kok.”
Nia menggerutu. Bukan apa-apa?
Ema yang baru saja selesai menunaikan ibadah shalat Shubuh segera bergegas
membereskan mukena dan sajadah. Kemudian ia berjalan menuju ruang tamu, untuk
menemui bapak. “Lho, bapak, habis dari mana? Ema tadi sempat panik, lho,
soalnya pintu kamar bapak terkunci.”
“Anu, Ema, tadi bapak shalat di masjid, kok,” jawab bapak. “Badan
bapak sekarang sudah enak, jadi bapak mau jalan-jalan sambil mencari udara pagi
yang segar diluar.”
Mata mereka sempat melirik satu sama lain dengan perasaan ragu. Ema
juga mulai sadar dengan sebuah kantung plastik yang bapak bawa tadi. Tetapi,
bapak justru meninggalkan mereka berdua menuju dapur seolah tidak terjadi
apa-apa.
“Lho, ini apa?” sahut bapak yang terkejut saat melihat sebuah
cangkir berisikan air berwarna hitam pekat di dekat termos.
Ema sontak teringat dengan secangkir kopi semalam. Oh iya, kopi
itu.
“Ini kenapa ada kopi dingin disini?” lanjut bapak sambil meneliti
cangkir tersebut lebih dekat lalu mencium aromanya. “Siapa yang menyeduh kopi
lalu dibiarkan seperti ini? Duh, bagaimana kalian ini? Kenapa kopinya tidak
segera diminum?”
Tidak berpikir panjang, bapak segera meminum kopi tersebut.Dengan
nafsu yang cukup tinggi, kopi tersebut habis dengan waktu singkat.
“Bapak, jangan diminum kopinya!” jelas Nia sambil berusaha
menyingkirkan cangkir tersebut dari genggaman bapak.
“Bapak! Nia sudah berkali-kali mengingatkan bapak tentang kesehatan
lambung bapak! Kenapa, sih, Pak? Kenapa omongan Nia tidak digubris satu kalipun
sama bapak? Hah? Kenapa, Pak? Kenapaa?!” air mata Nia sulit dibendung lantaran
emosinya yang memuncak.
“Cukup, Nia! Bapak bosan dikekang seperti ini terus!” bapak
membentak Nia yang masih saja berusaha mengambil cangkir tersebut. “Bapak tidak
akan tega membuang kopi ini begitu saja! Bapak tidak mau mubazir!”
Saling merebut cangkir antara bapak dan Nia tidak dapat terelakkan.
Ema hanya terdiam bingung melihat pemandangan tersebut. Ia tidak dapat membela
siapapun karena mereka sama-sama keras kepala. Hal ini juga terjadi karena Ema
tidak segera menyingkirkan kopi tersebut dari semalam. Nyalinya tidak cukup
besar untuk melerai mereka berdua.
Perdebatan terhenti setelah bapak mulai meronta sambil memegang
kencang perut bagian kiri atas. Prang! Cangkir tersebut terjatuh ke
lantai dan menyisakan kepingan-kepingan beling dan sisa kopi di lantai.
“Bapak? Bapak? Bapak!” sahut Nia panik. Ia segera menuntun bapak ke
kamar dengan perlahan. Erangan bapak yang semakin lirih terdengar amat jelas di
telinganya. Wajah bapak yang mulai memerah dan penuh keringat, bibir yang semakin
pucat dan tangannya yang semakin kuat menggenggam pinggang Nia, seolah
menggambarkan rasa sakit yang bapak rasakan saat itu.
Ema bergegas membersihkan kepingan cangkir yang berserakan di
lantai dapur. Aduh! Ibu jarinya tiba-tiba menyentuh salah satu ujung
beling yang sangat tajam sehingga menyebabkan luka dan terlihat darah segar
yang terus mengucur deras. Ia segera bangkit dan membasuhkannya di wastafel
lalu mengambil tisu dan plester. Sedangkan Nia masih mencoba menghubungi rumah
sakit untuk memanggil ambulance. Sayang, pulsanya tidak mencukupi untuk
melakukan panggilan.
Ah, kenapa sih? Nia terus menggerutu. Untungnya, masih ada telepon rumah yang
mengaggur di ruang tamu. Ia segera berlari lalu mengangkat gagang telepon
sembari menekan tombol demi tombol angka. “Halo, Rumah Sakit Medika Jaya?”
***
Sesampainya di rumah sakit, bapak segera dimasukkan ke ruangan Unit
Gawat Darurat untuk diperiksa. Nia dan Ema hanya diperbolehkan menemani bapak
sampai di depan ruangan tersebut. Mereka terus menunggu sambil mengucapkan
begitu banyak doa. Nia duduk sambil menunduk, sedangkan Ema menyadar tembok
yang cukup dingin. Keringat dingin nyaris membasahi seluruh tubuh mereka.
Clek! Pintu UGD akhirrnya terbuka. Nia dan Ema terbangun dengan semangat
dan segera mendekati seorang dokter yang
menangani bapak tersebut. Tapi agaknya, raut wajah sang dokter terlihat murung.
“Mohon maaf, kami dari tim dokter telah gagal menyelamatkan nyawa
bapak kalian. Kami telah memeriksa lambung beliau dan kami yakin bapak
meninggal akibat menenggak kopi yang telah basi. Kami memerkirakan kalau bapak
meninggal saat dalam perjalanan. Sekali lagi, kami mohon maaf.”
Tubuh Ema seketika lemas. Kepalanya dengan cepat mendarat di pundak
Nia dan langsung membasahinya dengan air mata yang begitu deras mengalir. Nia
yang masih menadahkan wajahnya ke arah dokter tersebut seolah tidak percaya
dengan diagnosa dokter. Ia terus memandangi sang dokter dengan sorot mata yang
kosong., disusul tetes demi tetes air mata yang mulai membasahi sekitar
pipinya.
Tak lama, jenazah bapak diserahkan kepada pihak keluarga. Rumah pun
mulai dipadati oleh para tetangga yang turut berbelasungkawa dan keluarga
besar. Meskipun hari semakin siang dan panas, namun tamu-tamu tidak
henti-hentinya didatangi. Prosesi pengurusan jenazah dilakukan di rumah, mulai dari pemandian
hingga pembalutan kain kaffan. Tak satupun dari Ema maupun Nia yang berani
menampakkan wajah mereka di depan jenazah bapak yang sedang diurusi. Mereka
terus mengurung di dalam kamar masing-masing selama prosesi tersebut
berlangsung.
Sekitar pukul sebelas siang, jenazah bapak dishalatkan di masjid
dekat rumah. Setelah itu, jenazah beserta rombongan melakukan iring-iringan
menuju tempat pemakaman umum terdekat. Barisan motor dan mobil berkibarkan
bendera kuning memenuhi jalan kampung kala itu. Seolah hari itu menjadi hari
yang begitu kelabu.
Sesampainya di tempat tujuan, sebuah keranda dikeluarkan perlahan
dari ambulance lalu digotong oleh beberapa pemuda dan orangtua menuju
tempat peristirahatan terakhir bapak. Selanjutnya, prosesi pemakaman pun
dimulai. Seluruh warga kampung segera mendekati tempat tersebut, tapi tidak
dengan Ema dan Nia. Mereka melihat pemandangan paling menyakitkan itu dari
bawah pohon beringin yang letaknya cukup jauh dari makam bapak.
Selama kurang lebih empat puluh menit berlalu, seluruh prosesi
pemakaman telah selesai dilaksanakan. Seluruh rombongan mulai meninggalkan
tempat tersebut. Hanya tersisa beberapa orang dari keluarga yang masih
bertahan. Sedangkan Ema dan Nia baru saja mendekati makam tersebut.
“Bapak, Nia minta maaf kalau detik-detik kepergian bapak justru
malah Nia berbuat dan berkata-kata kasar. Jika aku tahu, aku tidak akan
melakukan hal itu. Dan, mungkin bapak benar. Selama ini, Nia selalu mengekang
bapak. Nia sering egois dan terlalu mengawatirkan bapak. Sekarang, bapak tidak
perlu merasa seperti itu. Bapak sekarang sudah tenang, tidak diomeli sama Nia
lagi. Sekali lagi, Nia minta maaf, Pak.”
Ema berusaha tegar dan menahan semua air matanya, “Bapak, Ema minta
maaf. Ema tidak bisa memenuhi janji bapak semalam. Seharusnya, hari ini Ema
berangkat kuliah, tapi justru... Bapak yang berangkat ke surga lebih dulu. Ema
masih tidak percaya kalau semalam adalah pelukan terakhir, cengkerama terakhir
dan... Tos-tosan terakhir bersama bapak. Ema sebenarnya masih berharap kalau
bapak benar-benar sehat dan melihat Ema mengenakan pakaian sarjana dan toga. Tapi
ternyata takdir berkata lain. Ema harus melewati hari wisuda tanpa bapak dan
ibu.”
Air mata Ema yang sempat berhenti mengalir kini kembali deras,
“Tapi, tidak apa-apa, yang penting bapak dan ibu sekarang bisa tidur lebih
tenang. Ema pasti akan selalu menyebut bapak dan ibu di awal doaku. Ema akan
selalu menyampaikan rasa rinduku lewat shalat dan doa.”
Ema secara spontan memeluk batu nisan bertuliskan nama bapak begitu
kuat. Ia meraung begitu keras, seolah masih berat untuk merelakan bapak pergi
lebih dulu.
“Ema, sudah, jangan menangis seperti itu. Nanti bapak justru
semakin sedih kalau kita tidak segera mengikhlaskan kepergian bapak.” bisik Nia
sambil mengelus pundak Ema.
Mendengar hal itu, Ema mulai melepaskan pelukannya dari batu nisan
tersebut. Ia berusaha mengusap air matanya yang tiada henti membasahi pipinya. Nia
kemudian mengajak Ema memanjatkan doa untuk bapak. Dan setelah itu, seluruh
keluarga, termasuk Ema dan Nia segera meninggalkan makam dengan langkah yang
berat.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com . :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar