Istana identik dengan bangunan yang mewah, megah, artistik dan menyimpan
segala seni dan keindahan lainnya. Istana lebih diperuntukkan untuk orang-orang
terpilih, keluarga terhormat, bangsawan dan orang-orang penting lainnya. Tidak
sembarang orang dapat menginjakkan kaki di tempat ini karena penjagaan yang
sangat ketat di setiap sudut bangunan. Disinilah, seluk-beluk cerita sebuah
kerajaan dimulai, dari tawa, sedih, duka, bahkan setumpuk masalah pun dipendam.
Suasana demikian persis aku rasakan di istanaku ini. Walau jauh dari kesan
mewah, megah, apalagi menyimpan segala keindahan, untuk dipandang dari luarnya
saja orang pun enggan. Aku hanyalah anak bungsu dari sebuah keluarga yang serba
pas-pasan. Keadaan ekonomi keluarga amat berat sebelah, pemasukan yang didapat
selalu dibawah rata-rata di tengah kebutuhan yang semakin memuncak. Bagaimana
keuangan kami ini tidak amburadul?
Ku lihat ayah dengan pernghasilannya per bulan, sangat tidak sebanding
dengan kerja keras beliau dari pagi hingga larut. Bahkan meskipun sudah di
rumah pun tak berarti beliau terbebas dari incaran telpon dari atasan ataupun
para pekerja proyek. Belum lagi beliau harus menghadapi bejibun masalah
keuangan yang selalu membelit perusahaan tersebut.
Ku tengok ibu, yang selalu terjaga sepanjang hari demi kakek yang sudah
sangat renta. Mengurusi lansia yang hampir berumur 90 tahun bukanlah perkara
mudah. Setiap hari, ibu harus terlampau emosi karena kesabarannya yang amat
diuji.
Ku alihkan pandanganku ke kakak, yang baru saja melahirkan putri cantik dan menggemaskan satu bulan
lalu harus ikut pusing lantaran biaya keperluan susu formula yang begitu mahal.
Belum lagi harus bolak-balik rumah sakit untuk periksa kesehatan diri dan
bayinya, tidak sedikit uang yang harus ia keluarkan untuk semua itu.
Sedangkan aku? Aku hanya memandang semua itu dari kacamata dangkalku saja.
Aku tidak merasakan bagaimana lelahnya sebagai ayah yang selalu dikejar
orang-orang proyek dan atasannya yang super judes dan cerewet. Aku juga tidak merasakan
sesaknya dada dan kesalnya ibu ketika harus menghadapi kakek yang serba kesulitan
melakukan apapun. Ke kamar mandi pun harus dituntun, makan harus disuapi,
bahkan tak jarang kakek meludah dan buang air sembarangan. Aku pun juga belum
merasakan pusingnya kakak, bagaimana caranya menghadapi kehamilan dan persalinan
lalu menjaga bayi yang baru lahir, yang harus menyusuinya dua jam sekali. Belum
juga biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk itu semua.
Setiap saat aku selalu merenung, aku
hidup untuk apa?
Aku terdiam.
....
Hingga akhirnya, waktu memberiku kesempatan untuk berpikir. Ternyata, tempat ini membuatku mengerti, tak selamanya istana itu
mempesona. Tak ada kebahagiaan yang abadi di dunia ini, kecuali bagaimana kita
memaknai arti kebahagiaan itu sendiri. Tak mungkin seumur hidup kita adalah
melulu ujian dan cobaan. Pelangi akan menampakkan warnanya ketika badai telah
usai. Kupu-kupu akan terbang bebas dengan cantiknya setelah melewati fase ulat
yang tampak jijik dan menjadi kepompong yang harus membutuhkan waktu yang tak
sebentar.
Setiap manusia pasti dapat melampaui segala cobaan yang menderanya, karena Allaah
tak mungkin memberi kita beban yang tak bisa kita jangkau. Aku sangat percaya,
akan ada titik cahaya setelah awan hitam menguasai hati dan pikiran kita.
Matahari akan kembali bersinar tatkala gerhana berlalu.
Aku bersyukur, ternyata Allaah telah memberiku sebuah istana dengan
keluarga kerajaan yang begitu hebat. Aku disuguhkan sebuah peristiwa hidup yang
membuat mata dan hatiku terbuka lebih luas. Keadaan membuatku berpikir untuk
tidak selalu menengok rumput tetangga yang lebih hijau dan segar. Inilah istana
yang selalu mengajarkanku untuk mengilhami makna syukur yang sebenarnya. Aku
tak perlu harus seperti kerajaan-kerajaan lain yang lebih makmur dan sentosa,
yang aku butuhkan hanyalah kebahagiaan yang terbalut cinta dan kasih sayang di
tengah wadah kesederhanaan.
Allaah, Maha Adil, Maha Bijaksana.
Baru mampir udah suka sama tulisannya :)
BalasHapuswww.fikrimaulanaa.com